Menulis Untuk Mencetus Pengetahuan, Menulis Untuk Pencerahan Ilmu,Menulis Untuk Mencari Ilahi...

Wednesday, September 29, 2010

Pegang Babi Tak Berdosa, Pegang Anak Dara Orang Berdosa

“Kalau kita pegang babi hukumnya tidak berdosa, najis babi boleh disamak. Tapi kalau kita pegang perempuan yang bukan mahram, itu berdosa. Nak cuci dengan apa? Nak samak dengan apa?” ini antara petikan dari ceramah Ustaz Kazim.

Isu sebenarnya adalah bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahram. Bila tiba hari raya, kita semua berkumpul bersama. Seolah-olah semua yang berkumpul di situ adalah mahram kita. Kita bersalam-salaman tanpa mengira batas. Jadi apa hukumnya?

Kita dalam membicarakan hukum bersalam ini antara lelaki yang sudah dewasa dengan wanita bukan muhrim yang sudah dewasa dan tidak membicara hukum bersalaman dengan wanita tua sesangat atau budak perempuan yang masih kecil. Perlu diberi perhatian!

Orang Melayu terkenal dengan masyarakat yang mementingkan adab, sopan-santun dan budi-pekerti yang mulia. Antara adab yang sentiasa dipraktikkan dalam masyarakat ialah bersalam atau berjabat tangan di antara satu sama lain apabila bertemu. Perbuatan ini merupakan sesuatu yang amat baik kerana ia dapat mengeratkan silaturahim dan persaudaraan di dalam masyarakat.

Namun akhir-akhir ini didapati bahawa bersalam atau berjabat tangan ini dilakukan dengan sewenang-wenangnya tanpa mengira batas hukum syarak, sehinggakan gejala bersalam atau berjabat tangan di antara lelaki dan wanita yang bukan mahram menjadi semakin berleluasa dan semakin diterima di dalam masyarakat. Apatah lagi apabila bertemu dengan pemimpin, maka bukan sekadar berjabat tangan tetapi ada yang sanggup mencium tangan pemimpin tersebut sedangkan tidak ada ikatan mahram di antara mereka!

Begitu juga dengan pengalaman saya mengikuti program khidmat sosial. Sekalipun kita telah diterima sebagai anak angkat. Adakah dengan ikatan keluarga angkat itu, ia memberi lesen yang besar kepada kita untuk bersalaman? Kadang-kadang timbul isu, apakah perlu kita menyambut huluran salam yang diberikan oleh keluarga angkat kita? Tak di salam, nanti kata tak menjaga air muka mereka. Dah bersalam, apa pula hukumnya?

Fenomena seumpama ini sekiranya dibiarkan, ia akan menjadi semakin parah yang akhirnya bukan sahaja bercanggah dengan ajaran Islam, malahan akan turut menghakis nilai-nilai murni dan adab tatasusila yang diamalkan dalam masyarakat Melayu selama ini. Walaupun para ulama’ mengharuskan seseorang lelaki berjabat tangan dengan wanita yang sudah tua yang sudah tidak ada lagi keinginan syahwat (rujuk dalam Fatawa Mu’asirah oleh Yusuf al-Qaradawi), namun ia janganlah dijadikan sebagai satu alasan untuk sewenang-wenangnya membudayakan berjabat tangan di antara lelaki dan perempuan.

Kadang-kadang yang melakukan hal ini adalah sahabat-sahabat saya, ahli keluarga saya. Saya yakin dan percaya, mereka mempunyai dalil serta alasan yang kukuh atas pelakuan mereka itu. Perkara ini nampak remeh, tetapi ia sebenarnya adalah masalah hukum dan terkadang sukar untuk kita mengelaknya.

Berikut saya sampaikan artikel dari ulama terkini, semoga bermanfaat.

Larangan Berjabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali
Friday, 06 February 2009
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Lebih baik kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya,” (Hasan, HR ath-Thabrani dalam al-Kabir (174).
Diriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku tidak akan menjabat tangan wanita. Sesungguhnya ucapanku untuk seratus wanita sama seperti ucapanku untuk satu orang wanita (yakni dalam membaiat mereka),” (Shahih, HR Malik [II/982], at-Tirmidzi [1597], Ibnu Majah [2874] dan Ibnu Hibban [4553]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a, bahwasanya Rasulullah saw. tidak pernah menjabat tangan wanita ketika mengambil baiat wanita (dari para wanita),” (Shahih lighairihi, HR Ahmad [II/213]) dan al-Humaidi [368]).

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika membaiat. Beliau membaiat mereka hanya dengan ucapan, “Aku telah membaiatmu untuk ini dan ini,” (HR Bukhari [4891]).

Kandungan Bab:
Haram hukumnya menyentuh wanita yang tidak halal bagi seorang lelaki. Tidak diragukan lagi ancaman yang berat tersebut menunjukkan pengharamannya.
Haram hukumnya berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram) karena termasuk menyentuh. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah saw. tidak pernah menjabat tangan wanita dalam membaiat apalagi ketika bertemu.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menjabat tangan wanita dengan alas tangan. Namun riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat mursal yang tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi riwayat tersebut bertentangan dengan hadits yang shahih dan jelas dari perkataan dan perbuatan Rasulullah.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/58-59.
Di sini saya meletakkan beberapa dalil yang membolehkannya:

Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.

1. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah r.a. yang berkata:

Kami membaiat Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku : Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu dan melarang kami melakukan nihayah (menangisi mayat), kerana itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi. [HR. Bukhari].

Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbaiat dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki erti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167).

Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebahagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.

Kedua, diriwayatkan dari Aisyah r.a. yang berkata:

Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, Aku tidak tahu ini tangan seorang lelaki atau tangan seorang wanita. Dari belakang tabir wanita itu menjawab. Ini tangan seorang wanita. Nabi bersabda, Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau mengubah warna kukumu (dengan inai). [HR. Abu Daud].

Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antara lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji lelaki dan wanita, juga antara lelaki dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya lelaki dan wanita yang bukan mahram.

Kesimpulan:

Seperti yang saya katakan di awal tadi, masing-masing mempunyai hujah di atas perbuatan masing-masing. Atas jalan mana yang mahu kita ikuti, terpulanglah. Tapi adalah lebih baik seandai kita mengambil jalan yang paling selamat.

Allah swt telah berfirman dalam surah al-Nur ayat 30-31 bermaksud: ”Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat (merendahkan) pandangan mereka (daripada memandang wanita yang bukan mahram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah amat mendalam pengetahuannya tentang apa yang mereka kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat (merendahkan) pandangan mereka, dan memelihara kehormatan mereka…..”.

Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan agar orang lelaki dan perempuan agar menjaga dan merendahkan pandangan mereka daripada melihat sesuatu yang diharamkan seperti melihat orang yang bukan mahram sehinggakan boleh menimbulkan syahwat. Oleh itu, ajaran Islam mengharamkan seseorang lelaki melihat kepada wanita yang bukan isterinya atau wanita yang bukan mahramnya. Hal ini tidak pula bermaksud kita dikehendaki memejamkan mata ketika bertemu dengan orang yang bukan mahram, tetapi apa yang dimaksudkan ialah kita dilarang melihat berulang-kali terhadap seseorang yang bukan mahram kerana ia boleh menimbulkan syahwat dan fitnah.

Sekiranya memandang kepada wanita yang bukan mahram pun dilarang dalam hukum syara’, sudah tentu bersalam dan berjabat tangan di antara lelaki dan wanita yang bukan mahram lebih-lebih lagi dilarang. Cubalah kita fikirkan, manakah yang lebih menimbulkan syahwat dan fitnah, memandang dari jauh atau bersalaman dan berjabat tangan yang melibatkan persentuhan kulit dengan kulit? Tepuk dada, tanya iman!.

No comments:

Post a Comment